Istilah
Bullying belum banyak dikenal
masyarakat, terlebih karena belum ada padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia (Susanti,
2006). Bullying berasal dari kata bully, menurut kamus Inggris-Indonesia
karangan Echols dan Shadily bully diartikan sebagai : “bully /’bulie/ kb. (j.
–lies) penggertak, orang yang mengganggu orang yang lemah. –ks. Inf.: baik,
bagus, kelas satu, nomor wahid. –kkt. (bullied) menggertak,
mengganggu.”Beberapa istilah dalam bahasa Indonesia yang seringkali dipakai
masyarakat untuk menggambarkan fenomena Bullying
di antaranya adalah penindasan, penggencetan, perpeloncoan, pemalakan,
pengucilan, atau intimidasi (Susanti, 2006).
Pengertian
bullying memiliki batasan cukup luas, tak sekedar tindak kekerasan fisik
belaka. Bullying berasal dari kata ‘bully’, yaitu dari suatu kata yang mengacu
pada pengertian adanya ‘ancaman’ yang dilakukan seseorang terhadap orang lain.
Selain gangguan fisik, korban bullying juga mengalami gangguan psikis, berupa
stres, karena bullying biasanya berlangsung dalam waktu yang lama.
Dengan
demikian ,bullying pada hakikatnya adalah “tindakan menggunakan kekuatan
ataupun kekuasaan, untuk melukai seseorang ataupun kelompok, secara fisik,
mental, serta verbal, sehingga menyebabkan korbannya merasa tertekan, trauma,
dan tak berdaya”. Maka berlangsungnya bentuk kekerasan ini dalam dunia
pendidikan yang diakui atau tidak hingga kini masih saja terus terjadi di
negeri kita, jelas merupakan pelanggaran Hak Anak secara kasat mata sehingga
mesti segera diakhiri.
Pelaku
bullying akan mengintimidasi/mengejek kawannya sehingga
kawannya tersebut jengkel. Atau lebih parah lagi, korban bullying akan
mengalami depresi dan hingga timbul rasa untuk bunuh diri.Bullying harus
dihindari karena bullying mengakibatkan korbannya berpikir untuk tidak
berangkat ke sekolah karena di sekolahnya ia akan di bully oleh si pelaku.
Selain itu, bullying juga dapat menjadikan seorang anak turun prestasinya
karena merasa tertekan sering di bully oleh pelaku.
Ada yang
menarik dari karakteristik pelaku dan korban Bully. Korban Bully mungkin
memiliki karakteristik yang bukan pemberani, memiliki rasa cemas, rasa takut,
rendah diri, yang kesemuanya itu (masing- masing atau sekaligus) membuat si
anak menjadi korban Bully. Akibat mendapat perlakuan ini, korban pun mungkin
sekali menyimpan dendam atas perlakuan yang ia alami.
Anak
Menjadi Korban bully, tanda-tanda munculnya keluhan atau perubahan perilaku
atau emosi anak akibat stres yang ia hadapi karena mengalami perilaku bullying
(anak sebagai korban). Laporan dari guru atau teman atau pengasuh anak mengenai
tindakan bullying yang terjadi pada anak
Kata karakter berasal dari kata Yunani, Charassein yang
berarti mengukir sehingga terbentuk sebuah pola. Memppunyai akhlak mulia adalah
tidak secara otomatis dimiliki oleh ssetiap manusia begitu ia dilahirkan,
tetapi memerlukan proses panjang melalui pengasuhan dan pendidikan (proses
pengukiran). Dalam istilah bahasa Arab karakter ini mirip dengan akhlak (akar
kata khuluk), yaitu tabiat atau kebiasaan melakukan hal yang baik. Al Ghazali
menggambarkan bahwa akhlak adalah tingkah laku seseorang yang berasal dari hati
yang baik. Oleh karena itu, pendidikan karakter adalah usaha aktif untuk
mmebentuk kebiasaan baik, sehingga sifat anak sudha terukir sejak kecil.
Pendidikan karakter juga dapat diartikan sebagai suatu
sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri
sesama lingkungan maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.Dalam
pendidikan karakter di sekolah, suatu komponen harus dilibatkan, termasuk
komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses
pembelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan
ko-kurikuler, pemberdayaan sarana dan prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja
seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari
nilai-nilai luhur universal, yaitu:
1.
Karakter
cinta Tuhan dan segenap cinta-Nya.
2.
Kemandirian
dan tanggungjawab
3.
Kejujuran
atau amanah, diplomatis.
4.
Hormat
dan santun.
5.
Dermawan,
suka tolong menolong dan gootng royong atau kerjasama.
6.
Percaya
diri dan pekerja keras.
7.
Kepemimpinan
dan keadilan.
8.
Baik
dan rendah hati.
9.
Toleransi,
kedamaian, dan kesatuan.
Kesembilan
pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik
menggunakan metode knowning the good, feeling the good, dan acting the good.
Knowning the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kogntif saja.
Setelah knowning the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni
bagaimana merasakan dan mencintai kebijakan menjadi engine yang bisa membuat
orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa,
orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku
kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan itu, maka acting the good
itu berubah menjadi kebiasaan.
Bagi
sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis sangat
sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang
padat. Karena itu, sebaiknya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak
masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play groupdan taman kanak-kanak.
Di sinilah peran guru yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru,
dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung tombak di kelas yang berhadapan
langsung dengan peserta didik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar